Beranda | Artikel
al-Hanifiyyah Millah Ibrahim [1]
Senin, 10 Oktober 2016

Dalam al-Qawa’id al-Arba’, Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata :

Ketahuilah -semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya- bahwasanya al-Hanifiyyah adalah millah/ajaran Ibrahim yaitu dengan anda beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya.

Itulah yang diperintahkan oleh Allah kepada seluruh manusia dan Allah ciptakan mereka untuk mewujudkannya. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Apabila anda telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah dinamakan sebagai ibadah kecuali jika disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sebagai sholat kecuali jika disertai dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik memasuki suatu ibadah ia menjadi rusak. Sebagaimana halnya hadats yang masuk ke dalam thaharah.

Apabila anda telah mengetahui bahwasanya syirik ketika mencampuri ibadah menyebabkan ia menjadi rusak serta menghapuskan amalan dan pelakunya menjadi penghuni kekal di dalam neraka; maka anda bisa mengetahui bahwasanya perkara terpenting ialah dengan mengenali hal itu dengan baik. Mudah-mudahan Allah membebaskan anda dari perangkap ini; yaitu syirik kepada Allah.

Dimana Allah telah berfirman mengenai hal itu (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 116)

(lihat Transkrip Syarh Qawa’id Arba’ oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 15)

Keterangan :

Di dalam mukadimah ini, Syaikh rahimahullah mendoakan penimba ilmu supaya diberikan bimbingan (ar-rusyd) oleh Allah. Yang dimaksud dengan ar-rusyd atau ar-rasyad adalah lawan dari ghowayah (penyimpangan). Penyimpangan merupakan lawan dari bimbingan. Sedangkan kesesatan (dholalah) adalah lawan dari hidayah (petunjuk).

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam ayat-Nya (yang artinya), “Tidaklah sahabat kalian itu -Muhammad- orang yang sesat (dholla) dan tidak pula menyimpang (ghowa).” (an-Najm : 2). Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersih dari kesesatan dan penyimpangan. Yang demikian itu disebabkan pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkumpul kesempurnaan ilmu yang bermanfaat dan amal salih.

Demikian pula ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada kita untuk berpegang-teguh dengan manhaj/jalan salafus shalih dan yang terdepan diantara mereka adalah para khulafa’ur rasyidin. Beliau bersabda, “Wajib atas kalian untuk mengikuti Sunnah-ku dan Sunnah para khalifah yang rasyid/lurus dan berpetunjuk…” (lihat Shahih at-Targhib karya al-Albani no. 37). Di dalam hadits ini, beliau memberikan predikat para khalifah setelah beliau itu dengan sebutan ‘ar-rasyidin dan al-mahdiyyin’ yang artinya ‘yang lurus dan berpetunjuk’. Di dalam kedua sifat ini terkumpul kebaikan ilmu dan kebaikan amal. Hidayah merupakan bentuk kebaikan dalam hal ilmu sedangkan ar-rusyd atau ar-rasyaad adalah kebaikan dalam hal amal.

Demikian intisari dari keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam syarahnya (lihat Transkrip Syarh Qawa’id Arba’ oleh beliau, hal. 16)

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menjelaskan, bahwa ar-rusyd (bimbingan) merupakan kebalikan dari ghoyy (penyimpangan). Yang dimaksud darinya adalah meniti jalan yang lurus dan dilandasi dengan ilmu yang sahih. Sehingga maksud dari doa penulis di sini adalah supaya segenap pembaca kitabnya ini diberikan bimbingan dan taufik oleh Allah. Perkataan beliau ‘semoga Allah membimbing anda untuk taat kepada-Nya’ maksudnya adalah; semoga Allah memudahkan untuk anda jalan-jalan ketaatan kemudian Allah mudahkan untuk anda berjalan di atasnya. Adapun yang disebut ketaatan itu adalah mencakup mengikuti perintah dan menjauhi larangan (lihat Syarh Mutun al-Aqidah oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah, hal. 223)

Dari keterangan di atas, kita bisa mengambil faidah bahwasanya Syaikh rahimahullah mengisyaratkan kepada segenap penimba ilmu untuk meluruskan ilmu dan amalnya. Beliau mendoakan agar kita diberikan ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Orang yang mendapat ilmu yang bermanfaat dan amal salih inilah yang disebut orang yang mendapatkan taufik.

Lurusnya ilmu itu adalah dengan membersihkan hati dari segala macam syubhat dan kerancuan pemahaman. Sementara lurusnya amal adalah dengan membersihkan hati dari segala keinginan dan hawa nafsu yang diharamkan. Rusaknya ilmu menyebabkan orang terjerumus dalam kesesatan (dholalah) sedangkan rusaknya niat dan keinginan menyebabkan pelakunya terjerumus dalam penyimpangan (ghowayah).

Oleh sebab itu Syaikh Shalih al-‘Ushaimi hafizhahullah menyebutkan langkah pertama yang harus ditempuh oleh penimba ilmu adalah membersihkan ‘bejana’ tempat ilmu itu akan bersemayam. Bejana ilmu itu adalah hati. Bersihnya hati itu bersumber pada kebersihan dari kotoran-kotoran syubhat dan bersihnya hati dari kotoran-kotoran syahwat. Apabila anda malu dilihat orang dalam keadaan memakai pakaian yang kotor maka semestinya anda lebih malu kepada Allah ketika melihat hati anda penuh dengan kotoran dosa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian. Akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Shalih al-‘Ushaimi hafizhahullah berkata, “Barangsiapa membersihkan hatinya maka di situlah ilmu akan bersemayam. Dan barangsiapa tidak mengangkat kotoran/najis (dosa) yang ada di dalam hatinya ilmu akan berpisah dan pergi darinya.” Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Haram bagi hati untuk dimasuki cahaya (ilmu) sementara di dalamnya ada sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Khulashah Ta’zhim al-‘Ilmi, hal. 9-10)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap kali seorang hamba semakin bertakwa dia akan semakin meninggi untuk menggapai hidayah yang lain. Dia akan senantiasa mengalami peningkatan hidayah selama dia mengalami peningkatan takwa. Dan setiap kali dia kehilangan suatu bagian ketakwaan luputlah darinya suatu bagian dari hidayah yang sebanding dengannya. Setiap kali dia bertakwa maka bertambahlah petunjuk yang dia miliki. Dan setiap kali dia mengikuti hidayah maka ketakwaannya juga semakin bertambah.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim, 1/102-103)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal salih, maka Rabb mereka akan memberikan petunjuk kepada mereka dengan sebab keimanan mereka itu.” (Yunus : 9)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/al-hanifiyyah-millah-ibrahim-1/